Cerita Kami
Latar Belakang
Periode terjadinya pengambilan anak dari Timor-Leste ke Indonesia dapat dilacak dari masa pendudukan Indonesia di Timor-Timur, yaitu 1975-1999
1976-79
Pada akhir 1970-an, personel militer tingkat rendah sampai menengah membawa anak-anak, direkrut sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO), dan memuat mereka ke kapal angkatan laut yang membawa para prajurit kembali ke Indonesia.
1980-89
Pada akhir 1980-an, terdapat upaya pemerintah dan otoritas militer untuk mengatur praktik pemindahan anak dan untuk mengawasi personel militer yang mengambil anak-anak. Sebagai gantinya, institusi seperti rumah sakit, badan amal, dan organisasi keagamaan memfasilitasi pemindahan anak-anak ke Indonesia. Yayasan yang didirikan oleh Jenderal Soeharto mendanai banyak dari program-program ini. “Mereka mengirimkan anak-anak Timor-Leste ke berbagai lembaga di Indonesia untuk tinggal dan belajar, dalam sebagian kasus tanpa restu dari keluarga mereka atau tanpa memberikan cara bagi keluarga untuk tetap berhubungan dengan anak-anak mereka.”
1990-98
Pada tahun 1990-an, praktik pemindahan anak terus terjadi. “Program Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Tenaga Kerja yang mengirimkan anak-anak Timor-Leste ke Indonesia untuk belajar atau bekerja dilandasi oleh motivasi politik dan keamanan. Motivasi ini mencakup penumbuhan komitmen pada integrasi dengan Indonesia dan untuk mengeluarkan calon pembuat kerusuhan dari Timor-Leste.”
1999
Kekerasan sekitar periode referendum 1999 untuk kemerdekaan di Timor Timur menimbulkan gelombang pengungsi ke Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Selama kekacauan, diperkirakan 4500-5000 anak terpisah dari keluarga mereka. “Sebagian dari kasus-kasus ini terjadi dalam konteks evakuasi anak-anak keluar dari Timor-Leste demi keselamatan anak-anak itu.
Proses Pengungkapan Kebenaran Secara Formal
Hasil jajak pendapat di tahun 1999 memutuskan bahwa Timor-Timur menolak otonomi. Keputusan ini menempatkan Timor-Timur, menjadi negara sendiri bernama Timor-Leste yang merdeka. Muncul berbagai upaya oleh masyarakat internasional dan nasional untuk merespon berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada masa pendudukan Indonesia. Upaya ini diharapkan untuk pengungkapan kebenaran terhadap kejadian yang sebenarnya terjadi, memulihkan martabat korban dan bangsa, mengejar akuntabilitas pihak yang bertanggung jawab, serta melakukan reformasi di pemerintahan untuk membangun Timor-Leste ke arah yang lebih baik. Untuk melihat versi infografis, sila klik tautan berikut: INFOGRAFIS 10th KKP INDONESIA - TIMOR-LESTE
19 Oktober 1999
MPR mengesahkan TAP MPR V/1999 tentang Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur, memerdekakan Timor Timur untuk menjadi negara sendiri.
31 Januari 2000
KPP HAM menyelesaikan penyelidikannya berkaitan dengan Timor Timur dan menyampaikan laporannya kepada Jaksa Agung, termasuk rekomendasi untuk meneruskan penyelidikan dan penuntutan atas petinggi aparat militer.
Laporan KPP HAM menyebutkan setidaknya 50 persen dari keseluruhan populasi terpaksa mengungsi, sementara 78 persen bangunan dibakar atau dihancurkan. Korban meninggal diperkirakan antara 1.200 hingga 1.500 orang.
Temuan ini juga menyimpulkan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang melibatkan kelompok milisi dan tentara RI. Hasil referendum sendiri diumumkan pada pagi hari 4 September 1999. Sebanyak 344.580 orang atau 78,5 persen pemilih secara tegas menolak usulan otonomi khusus dalam wadah Republik Indonesia, dan hanya 94.388 orang atau 21,5 persen yang memilih otonomi khusus.
2000
Desakan internasional untuk mengadili pihak yang bertanggung jawab dari militer Indonesia kemudian melahirkan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
2001
Pemerintah Timor Leste melalui regulasi UNTAET 2001/10 membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau dengan memperoleh mandat dari parlemen yang ditetapkan dalam konstitusi RDTL pasal 162. KRR Timor Leste (Comissao de Acolhimento, Verdado e Reconciliacao de Timor Leste/ CAVR) bekerja selama tiga tahun tahun untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat pada tahun 1974-1999.
2003
Pada tahun 2003, CAVR membentuk tim peneliti untuk melihat dampak dari konflik terhadap anak-anak dan memperdengarkan kesaksian anak-anak dalam dengar kesaksian publik. CAVR juga memfasilitasi kunjungan reuni salah satu anak yang hilang, Yuliana (Bileki), yang diambil pada 1979, untuk bertemu keluarganya di Ainaro. Laporan CAVR merekomendasikan agar kedua pemerintah memperhatikan anak-anak Timor-Leste yang dibawa ke Indonesia dan masih terpisah dari keluarga dan memberikan kesempatan untuk berhubungan dan bertemu kembali, termasuk bebas menentukan masa depan mereka.
14 Desember 2004
Pemimpin Timor Leste dan Indonesia sepakat untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Ini menyusul menguatnya desakan mengadili pelaku kejahatan HAM yang berasal dari militer Indonesia.
31 Oktober 2005
CAVR menyelesaikan laporan akhirnya bernama “Chega!” yang artinya adalah “stop” atau “cukup sudah”. Laporan setebal 2500 halaman tersebut diserahkan kepada Presiden Timor-Leste dan diberikan kepada Sekjen PBB pada 20 Januari 2006.
Chega! menyebutkan bahwa Timor-Leste menderita pelanggaran HAM yang sangat berat, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, pembunuhan, penghilangan paksa, pelanggaran hak anak, pelanggaran hak ekonomi sosial, dan budaya, penyiksaan, dan pelanggaran hukum perang. Angka kematian saat pendudukan Indonesia berkisar antara 102,800 hingga 183,000 jiwa yang mayoritas menjadi korban kekerasan militer Indonesia.
15 Juli 2008
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP) Indonesia dan Timor-Leste menyerahkan laporan akhirnya bernama Per Memoriam Ad Spem (“Melalui Ingatan ke Harapan”), diserahkan oleh KKP kepada presiden Timor Leste dan Indonesia. Laporan KKP memperkuat temuan CAVR terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia, termasuk fakta mengenai pemindahan anak dari Timor-Leste ke Indonesia pada 1975-1999. KKP juga menyebutkan adanya tanggungjawab institusi militer dan sipil di Indonesia dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur tahun 1999.
28-29 Agustus 2008
Senior Official Meeting (SOM) antara Indonesia dan Timor-Leste pertama kali dilakukan untuk mewujudkan rekomendasi KKP.
2009
Pemerintah Timor-Leste sempat mengajukan proposal agar Pemerintah Indonesia mempertimbangkan pembentukan sub-working group dalam mekanisme bilateral untuk menangani isu orang hilang.
September 2009
DPR mengeluarkan keputusan tentang pencarian keberadaan korban yang hilang, pembayaran kompensasi dan ratifikasi konvensi PBB mengenai penghilangan paksa. Termasuk dalam hal ini kasus penghilangan paksa 1997-1998 yang menetapkan pembentukan pengadilan HAM adhoc.
2010
Komite Parlemen A Timor-Leste menyelenggarakan Konsultasi Publik terhadap proposal yang diajukan oleh masyarakat sipil dan penyintas atas reparasi dan pembentukan institusi yang menjalankan rekomendasi CAVR dan KKP. Mengalami penundaan di tahun 2011 dan 2012.
26 Januari 2010
Komnas HAM menandatangani MoU bersama dengan lembaga Ombudsman Timor-Leste untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi KKP, terutama berkaitan dengan pencarian orang hilang.
2011
Kelompok Kerja Penghilangan Paksa PBB (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances, WGEID) mendatangi Timor-Leste dan memberikan rekomendasi untuk meratifikasi Konvensi Orang Hilang.
6 Oktober 2011
Presiden mengeluarkan Keputusan No. 72 tahun 2011 tentang Rencana Aksi untuk pelaksanaan rekomendasi KKP dan menetapkan Pelaksanaan Pemantauan Kelompok Kerja Rencana Aksi. Dalam Lampiran Bab V disebutkan agar Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan membentuk Komisi Reunifikasi Keluarga. Komisi ini memiliki mandat untuk mempertemukan anak yang berpisah dengan keluarganya di Timor-Leste.
April 2013
Pada 2013 Komnas HAM dan mitranya, Provedor untuk Hak Asasi Manusia Timor-Leste (PDHJ) menandatangani sebuah MoU untuk menindaklanjuti rekomendasi KKP.
2015
Reuni 2015 adalah reuni besar pertama yang menjadi momentum penting kerjasama antara masyarakat sipil di dua negara, Komnas HAM Indonesia dan PDHJ timor-Leste serta diliput oleh banyak media nasional dan lokal.
Perdana Menteri Rui de Araujo meminta bertemu dengan 15 anak yang mengikuti reuni.
Kelompok Kerja Penghilangan Paksa PBB (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances, WGEID) juga kembali mendatangi Timor-Leste dan menyebutkan kekecewaannya karena sejumlah rekomendasi di tahun 2011 belum ditindak lanjuti oleh Pemerintah dan Parlemen Timor Leste, termasuk ratifikasi Konvensi Orang Hilang dan pembentukan Institut Memori (Memory Institute) yang diamanatkan dalam laporan KKP
AJAR mengeluarkan riset 7 tahun KKP dan 10 tahun CAVR berjudul Inconvenient Truths.
2016
Pertemuan tahunan ke-7 Senior Official’s Meeting (SOM) RI – Timor-Leste mengenai Tindak Lanjut Implementasi Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dilaksanakan di Bali.
31 Oktober 2016
Menanggapi advokasi oleh masyarakat sipil, Perdana Menteri Rui de Araújo membentuk kelompok kerja untuk meninjau implementasi dari rekomendasi tersebut. Kelompok kerja mengembangkan desain untuk CNC yang disahkan melalui Keputusan Undang-Undang No 48/2016 dan diadopsi oleh Dewan Menteri pada 31 Oktober 2016.
17 Juli 2017
Pemerintah Timor-Leste membentuk Chega! National Centre – From Memory to Hope (CNC). CNC bertujuan untuk memfasilitasi implementasi rekomendasi CAVR dan KKP, terutama dalam hal ini mereunifikasikan anak-anak yang dicuri yang saat ini di Indonesia, dengan keluarga mereka di Timor-Leste.
15 Juli 2018
Sepuluh tahun berlalu setelah laporan KKP diserahkan pada Presiden Indonesia dan Presiden Timor-Leste.
Inisiatif Masyarakat Sipil
Inisiatif awal telah dilakukan kelompok masyarakat sipil di dua negara untuk melanjutkan rekomendasi dari komisi kebenaran untuk menemukan para Stolen Children dengan keluarganya. Akan tetapi, banyak yang masih terpisah dari keluarga dan kehilangan kontak selama berpuluh tahun lamanya. Berbagai upaya ini akan terus dijalankan hingga para Stolen Children bisa mendapatkan pemulihan atas hak-haknya
2012
Seorang penulis bernama Helene van Klinken menerbitkan disertasinya yang berjudul: Making Them Indonesians: Child Transfers Out of East Timor
April 2013
Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia dan Timor-Leste, bekerja sama dengan institusi- institusi HAM nasional Indonesia dan Timor-Leste, memulai inisiatif pencarian orang yang terpisah dari keluarganya di Timor-Leste saat mereka masih anak-anak antara tahun 1975-1999. 2 orang difasilitasi untuk berangkat ke Timor-Leste untuk bertemu dengan keluarga kandungnya.
2015
Kelompok masyarakat sipil di Indonesia dan Timor-Leste memperkuat inisiatif reuni anak hilang dengan keluarganya di Timor-Leste. Kali ini dengan mengajak langsung 15 anak hilang untuk bertemu dengan keluarganya di Dili. Reuni 2015 adalah reuni besar pertama yang menjadi momentum penting kerjasama antara masyarakat sipil di dua negara, Komnas HAM Indonesia dan PDHJ timor-Leste serta diliput oleh banyak media nasional dan lokal.
2016
Reuni kembali dilakukan pada Bulan Mei dan November. Para anak hilang bertemu dengan Presiden dan Perdana Menteri Timor-Leste.
April 2017
Kelompok masyarakat sipil di Indonesia dan Timor-Leste sepakat untuk bertemu untuk melakukan refleksi dan memperkuat kerja sama dengan membentuk Kelompok Kerja untuk Labarik Lakon.
November 2017
Reuni ke-5 memberangkatkan 15 stolen children. Reuni ini melibatkan masyarakat sipil di dua negara, Komnas HAM, PDHJ, CNC, Kementerian Luar Negeri RI, dan Kementerian Sosial dan Solidaritas di Timor-Leste.
30 November – 10 Desember 2018
Reuni ke-6 memberangkatkan 9 stolen children.
11-18 November 2019
Reuni ke-7 memberangkatkan 14 Stolen Children.